Doa Agar Suami Tidak Marah Marah Terus

Kenali Penyebab Suami Sering Marah

Foto: Suami Sering Marah Tanpa Alasan (Vixendaily.com)

Mungkin ada banyak penyebab suami sering marah. Namun satu penjelasan yang penting adalah bahwa suami memiliki batasan yang lemah.

Terkadang suami ingin mengatakan "ya" padahal dalam diri mengatakan "tidak". Artinya ada konflik antara apa yang terjadi dengan apa yang suami pikirkan.

Julie de Azevedo Hanks, Ph.D, LCSW, pemilik Wasatch Family Therapy mengatakan ada banyak hal lain yang mungkin terjadi.

“Kurang tidur, terlalu banyak hal yang dipikirkan, hingga hal-hal pelik lainnya, membuat suami sulit mengatur emosi,” tambahnya.

Baca Juga: 4 Penyebab Ibu Hamil Sensitif Terhadap Suami

Mungkin wajar jika kamu ingin menyampaikan kesedihan kepada ibu mertua atau mungkin ipar perempuan. Namun, mungkin saja mereka belum pernah menyaksikan sisi suamimu yang seperti itu. Oleh karena itu, penilaian mereka mungkin kabur dan dalam kasus terburuk, mereka mungkin menolak untuk mempercayaimu ketika kamu berbicara tentang masalah kemarahan suamimu. Oleh karena itu, kamu harus memiliki sistem pendukung dari teman atau kerabatmu sendiri di luar nikah yang dapat kamu percayai.

Jangan Pernah Takut untuk Pergi

Perempuan sering kali takut meninggalkan pertengkaran yang memanas karena tahu betul bahwa itu mungkin berakhir dengan kekerasan fisik. Meskipun terbukti bahwa kamu menghargai pasangan, kamu harus lebih memperhatikan keselamatan diri sendiri dan pergi tepat waktu sebelum pertengkaran itu berujung pada perkelahian.

Jika kamu telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan seksual dalam pernikahan, maka kamu harus menghubungi pihak berwenang setempat untuk meminta bantuan. Jangan pernah takut berjalan menjauh dari situasi yang buruk, karena kamu dapat membangun kembali hidup menjadi lebih bahagia.

Halo, terima kasih untuk pertanyaannya.

Kami dapat memahami kebingungan dan ketakutan anda menghadapi situasi tersebut. Banyak faktor yang memicu perilaku tersebut sehingga dibutuhkan pemeriksaan lebih dalam.

Untuk membina hubungan sehat dan membangun cinta diperlukan pula membangun pola komunikasi yang sehat dan terbuka. Anda dan pasangan perlu saling mengkomunikasikan kondisi yang anda alami, sehingga dapat saling memahami pula. Selain itu, upayakan untuk dapat saling mendengarkan tanpa menghakimi. Anda dan pasangan juga dapat saling menghargai, serta saling mendukung menjadi versi terbaik diri masing-masing. Hal tersebut penting untuk diperhatikan karena membina hubungan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya di salah satu pihak saja.

Menghadapi pasangan yang sulit diajak berkomunikasi dan kurang mampu mengelola emosi memiliki tantangan tersendiri. Sebaiknya anda tetap tenang dan tidak mudah terpancing karena hanya akan semakin memperburuk keadaan. Anda dapat menggunakan energi yang anda miliki untuk mengontrol hal yang dapat anda kendalikan (misalnya respon anda terhadap pasangan), daripada fokus pada hal yang tidak dapat anda kendalikan (misalnya perilaku pasangan). Anda juga memiliki hak untuk menetapkan batasan toleransi atas sikap pasangan anda. Jika memang diperlukan untuk mengambil jarak sejenak, maka hal tersebut boleh untuk dilakukan tetapi tetap dikomunikasikan dengan pasangan. Setiap keputusan yang anda ambil, sebaiknya diputuskan dalam kondisi yang tenang dan pikiran yang jernih. Selain itu, anda juga dapat mencari waktu yang tepat untuk membicarakan permasalahan anda dengan pasangan, kemudian bersama-sama mencari solusi yang terbaik.

Jangan ragu untuk memeriksakan diri/ pasangan anda atau melakukan konseling bersama pasangan ke psikolog jika keluhan berlanjut atau bertambah parah agar segera tertangani.

©2024 CNBC Indonesia, A Transmedia Company

Saya mempunyai suami yang seringkali mudah marah dan anehnya hanya pada masalah sepele seperti di jalan jika macet sudah melanda. Tidak jarang dia selalu berkata kotor dan membentak orang jika ada masalah di kantornya, sering sekali saya jadi bahan pelampiasan marah.Jika masuk gang kecil di rumah dia juga marah-marah sampai-sampai saya sudah tidak kuat dengan sifat dia. Padahal dia sudah saya beri penjelasan bahwa semuanya harus dengan kesabaran. Tidak itu saja setiap saya beri buku tentang artinya sabar dia selalu bilang iya-iya aku tahu. Begitu saja padahal kedua orangtuanya sangat peduli dengan agama atau taat dengan agama tapi yang saya heran kekeluargaannya tidak ada sopannya sama ayahnya tapi kalau sama ibunya baik sekali.Yang saya tanyakan:1. Apa penyebab dari orang yang sering marah-marah?2. Apa bisa dikatakan terkena darah tinggi?3. Dengan apa agar saya bisa menyadarkan dia?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Punya suami yang sensi memang sulit. Tapi ternyata suaminya bisa sabar juga ya kalau sama ibunya. Artinya sebenarnya suami mbak bisa saja mengontrol sifat marahnya.

Mengapa seseorang sering marah-marah untuk hal-hal yang mungkin sepele?

Sering karena ia tidak puas dengan keadaannya, misalnya dengan pekerjaannya, dengan lingkungan tempat tinggalnya, dengan hubungan perkawinannya, atau dengan dirinya sendiri.

Sebaiknya mbak juga baca buku bagaimana berhadapan dengan orang yang sering marah, dengan begitu mbak jadi bisa mengetahui cara bersikap.

Pada saat yang tepat, mbak bisa mengajak suaminya untuk berbincang-bincang dengan psikiater, bilang saja mbak yang perlu berkonsultasi, perlu curhat dengan seseorang.

Bagaimana pun marah-marah itu tidak baik untuk kesehatan, tekanan darah bisa meningkat, risiko untuk terkena sakit jantung lebih besar.

Kita tidak bisa mengubah orang lain, jadi yang bisa mbak lakukan hanyalah mengubah diri sendiri. Jika suaminya tidak merasa terganggu dengan sifat marah-marahnya, jadi mbak yang berkonsultasi dengan psikiater terlebih dahulu ya.

Psikiater di Psychiatric Clinic, Royal Progress International Hospital, Danau Sunter Utara, Sunter Paradise I, Jakarta 14350. Serta Staf pengajar di Jurusan Kesehatan Mental Fakultas Kedokteran Ukrida Jakarta.

Dalam sebuah hubungan pernikahan, ada kesalahpahaman dan pertengkaran memang wajar terjadi. Namun ingat, pertengkaran juga sepatutnya dilakukan secara sehat, ya.

Perlu menjadi perhatian Bunda jika saat suami marah ia sampai melakukan kekerasan fisik. Kondisi ini tidak bisa didiamkan begitu saja, terlebih jika kebiasaan ini dilakukan lebih dari sekali.

Dikutip dari Psychology Today, psikolog klinis Seth Meyers, Psy.D menuturkan bahwa kekerasan fisik dalam pernikahan bisa menjadi pertanda sebuah masalah besar. Termasuk di antaranya dipukul atau ditampar.

"Kekerasan adalah salah satu hal paling buruk dari sifat manusia, terlebih kekerasan fisik. Ini berarti ada yang tidak sesuai dengan metode pengelolaan emosinya," tutur Meyers.

Hal serupa juga disampaikan psikolog Willard F. Harley, Jr., PhD. Dilansir Marriage Builders, penulis buku His Needs, Her Needs: Building an Affair-proof Marriage tersebut menuturkan pentingnya mengambil sikap tegas jika suami marah sampai melakukan kekerasan fisik.

"Perpisahan mungkin menjadi solusi terbaik jika kondisi ini berlangsung sudah berkali-kali, terlebih jika pengendalian emosinya tak kunjung membaik. Libatkan konselor dan pihak berwajib jika perlu," tutur Harley.

Sayangnya, Harley menuturkan tak sedikit pasangan yang memilih untuk tetap tinggal meski mendapatkan kekerasan fisik berkali-kali.

"Beberapa korban kekerasan fisik menganggap diri mereka sebagai penyebab hal itu terjadi. Padahal seberapa pun salahnya, kekerasan fisik dalam pernikahan bukan sesuatu yang bisa dimaklumi begitu saja," imbuhnya.

Apabila saat tenang suami benar-benar merasa menyesal dan memang berkeinginan untuk bisa lebih mampu mengendalikan emosi, libatkan konselor yang bisa dipercaya ya, Bunda. Proses belajar ini mungkin membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga perlu konsistensi dan perencanaan.

Tapi ingat ya, Bunda. Jangan diam saja dan pertimbangkan untuk mencari pertolongan pihak lain jika kekerasan fisik terus terjadi. Tak perlu ragu mengambil sikap tegas, terutama demi keselamatan diri sendiri dan juga anak-anak.

Simak juga video menguak fakta emosi karena lapar:

[Gambas:Video Haibunda]

Stereotipe yang berkembang di masyarakat menyebut makin tua seseorang makin galak dan sinis pula tabiatnya. Apakah secara sains hal ini benar?

Stigma galak yang melekat pada orang tua mungkin seringkali secara kebetulan terafirmasi oleh kejadian di sekitar kita.

Hal itu ditambah dengan cerita orang sekitar yang memiliki pengalaman sama membuat stereotipe tersebut semakin melekat. Stigma ini seperti gulungan bola salju yang semakin besar oleh pengalaman-pengalaman serupa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebuah studi di Swiss oleh para peneliti Jerman, Harm-Peer Zimmermann dan Heinrich Grebe, mengungkap sebaliknya.

Para peneliti mengidentifikasi dua periode usia dengan kondisi lansia yang digambarkan dengan cara yang sangat berbeda. Yang pertama adalah dari usia 65 hingga 80 tahun yang digambarkan cenderung positif; peluang untuk realisasi diri yang lebih besar setelah pensiun.

Kedua, lansia di atas 80 tahun, yang pesimistis, kemunduran fisik dan mental yang cepat, demensia, hilangnya identitas dan martabat.

Dari sejumlah responden, peneliti menemukan semacam "kesejukan senior" (senior coolness) sebagai bentuk kemampuan untuk tetap tenang dalam kondisi terbatas di masa tua. Misalnya, tidak marah tentang kehilangan dan keterbatasan, dan memandang semuanya dengan bumbu humor.

Para peneliti juga menggambarkan ini sebagai upaya mereka untuk "tidak membiarkan diri sendiri terlempar dari langkahnya akibat kesengsaraan usia tua."

Menariknya, contoh kesejukan senior tampaknya tidak terkait dengan keadaan kehidupan tertentu. Contoh ini ditemukan pada wanita dan pria, individu berpenghasilan tinggi dan rendah, individu yang difabel dan tidak difabel, dan mereka yang tinggal di permukiman atau pun panti jompo.

Kepribadian orang-orang usia tua ini cenderung matang karena neurotisisme manusia menurun dan keramahannya meningkat.

Meski demikian, sebuah penelitian lain dari ilmuwan Denmark-Amerika Serikat (AS) Erik Erikson menyebut mereka yang berusia lebih dari 65 tahun memiliki perang psikologis antara integritas dan rasa putus asa.

Dia menyebut usia senja adalah tahap terakhir dari teori delapan tahap perkembangan hidup yang dikemukakannya.

Dilansir dari ScienceFocus, Erikson menjelaskan bahwa orang tua memandang hidup mereka dengan kekecewaan dan penyesalan, maka keputusasaan akan menang, sehingga memicu kepahitan dan membuatnya menjadi sosok yang galak serta pemarah.

Sebaliknya, orang tua yang menyadari bahwa mereka melakukan yang terbaik yang mereka bisa dan melihat hidup mereka dengan penerimaan dan penuh makna, maka mereka menghindari kepahitan dan malah menikmati perasaan kebijaksanaan.

Mungkin Moms merasa suami sering marah. Suami yang Moms cintai jadi mudah tersinggung, temperamental, dan kesal.

Rasanya, jika bisa, mungkin suami ingin membentak semua orang di sekitarnya.

Namun, perlu diingat bahwa marah merupakan emosi yang sangat manusiawi dan bisa dirasakan oleh siapa saja, termasuk suami Moms.

Ada banyak faktor yang bisa memicu emosi tersebut, seperti stres, kelelahan, atau bahkan masalah kesehatan mental.

Oleh karena itu, penting untuk Moms memberikan dukungan dan pemahaman pada suami saat ia sedang merasa marah.

Cobalah untuk memahami penyebab marahnya dan mencari solusi bersama.

Dengan begitu, Moms bisa membantu suami mengelola emosi dan menjaga keharmonisan dalam rumah tangga.

Lantas bagaimana Moms menghadapi suami jika kerap marah tanpa alasan ?

Baca Juga: 5 Menu Masakan Harian untuk Suami, Mudah dan Lezat Dijamin Bikin Suami Makin Cinta!

Suami Depresi dan Putus Asa

Foto: Suami Sering Marah Tanpa Alasan (Zeenewsindia.com)

Depresi tidak hanya kondisi ketika seseorang menangis sepanjang waktu dan tidak bangun dari tempat tidur.

Suami sering marah dan emosi tanpa alasan pun bisa jadi gejala suami depresi. Suami mungkin saja mengalami kecemasan yang berlebihan.

Individu dengan kecemasan tinggi sering merasa berada di ambang kewalahan karena mereka harus bekerja sangat keras untuk mengelola keadaan emosi diri mereka sendiri.

Jadi, ketika situasi yang menantang muncul maka emosi tersebut akan meledak-ledak dan tidak dapat dikontrol.

Psikoterapis Rebecca Wong, LCSW, melihat banyak individu dan pasangan yang marah karena masalah...